Friday, November 30, 2012

Epistemologi



Epistemologi mengandung arti filsafat pengetahuan yang mempengaruhi atau meresapi “Teori Hukum Tata Negara indonesia” sebagai spesies dari genus Hukum Tata Negara yang dalam ilmu hukum Dogmatika Belanda disebut  “Staatrecht”(State Law) atau ilmu hukum Dogmatika Inggris dan Amerika dinamakan “ Contitutional Law”. Selain itu HTN juga berpengaruh pada prosedur pengadilan dan badan-badan administratif. Dengan demikian HTN dapat dikatakan mempengaruhi bekerjanya sistem hukum.

Dalam presentasi dari Prof.Dr.I Dw.Gd.Atmadja,SH.MS dipaparkan dua isu yaitu :

    Ada beberapa pikiran pelbagai aliran filsafat hukum yang mempengaruhi HTN Indonesia dengan menelusuri “epistemologi”
    Asas-asas hukum fundamental yang signifikan dalam membangun teori HTN Indonesia

PEMBAHASAN

1.      Epistemologi yang mempengaruhi HTN

Dalam teori-teori hukum ditunjukan ada tiga tipe epistemologi, yaitu :

a.       Epistemologi metafisika-rasional

Epistemologi metafisika-rasional merupakan akar dari Teori Hukum Kodrat/Hukum Alam. Arus utama pemikiran hukum yang diusung adalah asas-asas keadilan dan asas-asas moral dengan metode konklusio,diturunkan kedalam alenia pertama Pembukaan UUD 1945 dengan frase “bahwa  sesungguhnya” menunjuk watak kodrati (Notonegoro dalam falsafah negara Pancasila), sehingga kalimat berikutnya menjadi valid.

Melalui pengkajian teoritis-analitis, tokoh nasional Roesla Abdulgani berpendapat bahwa Teori Hukum Alam meletakkan hak-hak asasi manusia ke dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai reaksi fundamental atas watak hukum kolonial yang diskriminatif, bersifat sewenang-wenang(represif).

b.      Epistemologi Ideal

Epistemologi ideal variannya idealisme immaterialisme dan epistemologi transcendental yang melahirkan teori hukum Neokantianisme dan idealism absolut(Hegel). Epistemologi transcendental dari Imanuel Kant secara universal berpengaruh terhadap gagasan hukum liberal, yang intinya memandang negara hukum suatu tipe negara jaga malam, mengedepankan 2 unsur negara hukum

Epistemologi Empiris

Epistemologi empisris dengan metode a priori, melalui Teori hukum murni dari Hans Kelsen, doktrin “grundnorm” dengan segala kekurangan dan kelemahannya yang banyak dikritisi oleh para ilmuwan namun tidak dapat disangkal pengaruhnya pada HTN yang menempatkan Pancasila sebagai “norma dasar” bagi Tertib Hukum Indonesia. Menurut Hans Kelsen tertib hukum (legal order), kesatuan norma yang tersusun secara hirarkhis dan dinamis.

2.      Asas-asas Fundamental yang Signifikan dalam Membangun Teori HTN Indonesia

Dalam membangun teori HTN Indonesia selain mengacu pada epistemologi yang diderivasi melalui Teori Hukum Alam, Teori Positivisme Hukum dan Teori-teori Hukum bernuansa empiris juga perlu memahami dan mencermati asas hukum mencakup : (1) asas- asas hukum yang telah dimasukan ke dalam undang-undang,tetapi tetap mempunyai watak yang umum, (2) asas-asas umum hukum khusus di bidang HTN, dan (3) asas-asas hukum yang paling fundamental yang berlaku bagi setiap aturan hukum. Asas-asas hukum yang paling fundamental diurunkan dari nilai-nilai dasar tata hukum yaitu Pancasila sebagai “rechside” yang dinamakan sebagai Asas Hukum Nasional Indonesia. Asas-asas tersebut mencakup: (1) asas moral, (2) asas kemanusiaan, (3) asas kebangsaan, (4) asas kerakyatan,(5) asas keadilan sosial,(6) asas pengayoman.

Philipus M. Hadjon dalam makalahnya berjudul “Pancasila sebagai dasar negara dan hukum tata negara” (jurnal hukum, fakultas hukum universits Surabaya, volume I) menyebutkan abad 2 asas fundamental yang di derivasi dari pancasila kedalam undang-undang 1945 yaitu asas demokrasi dn asas negara hukum. Dalam konteks pancasila sebagai dasar negara mengacu pada 2 asas itu, dapat dibangun teori demokrasi pancasila dan teori negara hukum pancasila.

Berikutnya dalam kerangka struktur sosial-idea komunitas-komunitas masyarakat Indonesia ke dalam undang-undang dasar 1945 dimasukan asas kekeluargaan dalam membangun teori HTN yang bersenuhan dengan perekonomian, sehingga relevan menjadi dasar normative dalam membangun teori demokrasi ekonomi yang berbeda dengan watak ekonomi bercorak neoliberal.

Menarik pula setelah rerubahan UUD 1945, mencermati logika perubahan pembagian kekuasaan, baik karena munculnya lembaga-lembaga independen yang di namakan “auxiliary state agencies”, maupun dilihat dari fungsi control MPR, DPR, DPD dan lembaga peradilan berpuncak pada MA dan MK terhadap eksekutif (Presiden). Tetapi melalui legal policy dikembalikan wewenangnya membuat ketetapan MPR yang bersifat mengatur, menempati urutan kedua dalam jenis dan hirearki peraturan perundang-undangan (pasal 7 ayat (1) UU no. 12 tahun 2011 tentag pembentukan peraturan perundang-undangan). Dengan demikian muncul isu hukum, apakah dalam pengujian UU dapat diuji terhadap ketetapan MPR, dan apakah ketetapan MPR dapat juga diuji baik formal maupun materi terhadap UUD.

Diantara kalimat teori tersebut dalam kaitan siklus pembentukan UU, the agenda building theory yang dianggap cocok sebagai acuan, bagi Indonesia, karena teori “pembangun agenda” enjelaskan proses pembentukan UU berjalan panjang, kompleks dan banyak factor mempengaruhi, banyak actor dengan ide yang berbeda bahkan saling bertentangan.

Sebelum mengahiri uraian, Prof. Atmaja merujuk pendapat Bruggink dalam pandangan ilmu sebagai proses dan produk yang bertumpu pada riset untuk membangun teori. Teori hukum diartikan syarat-syarat teori sebagai berikut : -subjek (penelitian) memperhatikan tradisi ilmiah, paradigm masyarakat ; penetapan permasalahan; metode : cara kerja tetap, dapat di kontrol, dapat dibenarkan ; teori sebagai produk : pengertian-pengertiannya jelas, bangunan yang jelas, penataan sederhana, formulasi cermat, jelas. (J.J.M Bruggink, 1996:220).

0 comments:

Post a Comment